Aku
tak pernah dan tak akan mencoba menghitung berapa jumlah hari yang telah kita
lewati. Meski terkadang ada hal sakit yang tertinggal ketika menyadari kau
adalah orang yang aku butuhkan. Ini kali kedua aku kehilangan orang yang begitu
berarti. Andai saja. Oh! Jangan biarkan aku berandai-andai atas kebodohan ini.
Bagaimana pun kau telah mengajari bahwa hidup dan masalah adalah dua sisi yang
takkan pernah bisa terpisahkan.
-
Jika
kau bertanya apa yang paling kubenci saat ini, maka jawaban itu adalah jalan
yang pernah kita lalui bersama. Kau tahu, aku pernah tersesat di hati yang
salah. Kau datang dan menghiburku, kala itu aku begitu angkuhnya menerima
kehadiranmu. Kupikir kau sama saja dengan yang sudah sudah. Lalu waktu yang
begitu jauh ternyata membawa langkahku kembali menemukan sedikit jejak bekas
kakimu yang tertinggal di ujung gang sana.
-
Ternyata
jejak itu membawa kita pada kisah yang baru. Tanpa sadar aku menikmati setiap
waktu yang kita habiskan bersama. Menikmati secangkir kopi setiap pagi dan
melewatkan hari dengan semua kisah dalam dunia pekerjaan kita. Bahagia? Tentu
saja aku bahagia. Kutahu kau begitu sibuk dalam mengemban tugas kantor namun
hatimu yang lembut selalu menyisakan ruang buatku. Kau tempa aku menjadi
pribadi yang dewasa dalam menghadapi setiap masalah.
-
Kau
tahu, setiap kali aku membuka mata dan menghirup udara segar yang ada hanya
rasa bahagia. Jangan bilang ini kisah roman picisan atau kisah remaja yang
sedang pubertas. Kita sama dewasa hanya yang membedakan adalah kau begitu
wibawa di mataku hingga tak sedikitpun kesalahan yang kau perbuat menjadi cela
bagiku untuk membenci. Dan perlahan bekas luka yang ditorehkan dia yang
pengecut itu sembuh karena kesabaranmu mengajarkan dalam kesantunan.
-
“Apakah
kita bisa selamanya seperti ini?” tanyaku pada suatu malam.
Saat
itu kau hanya tersenyum dan mengalihkan perbincangan kita pada hal lain. Ada
firasat yang mengabarkan pada hatiku bahwa sesuatu telah kau sembunyikan. Entah
apa.
“Jangan
pernah tanyakan hal itu lagi ya, yang kutahu, aku sayang kamu.”
-
Lalu,
kita menjalani hari seperti biasanya. Kau dengan pekerjaanmu begitupun aku.
Masih sama seperti biasa, saling mendoakan untuk keberkahan hidup juga
kebahagiaan dalam melewati hari yang penuh rintangan.
-
Sampai
pada satu titik mungkin sudah saatnya kita harus saling jujur dan menerima
semua dengan lapang dada meski hakim sesungguhnya adalah sang Pemilik
Kehidupan. Inilah yang aku takutkan sepanjang aku menyayangi seseorang. Dia
berkhianat atau jujur telah memilih hati yang lain.
-
Pagi
pertama aku tak lagi menemukanmu dalam pesan singkatku. Kupikir kita harus
saling mengerti bahwa doa yang selalu dipanjatkan tak harus pula saling
memberitahu. Ternyata pagi setelahnya dan berikutnya pun memang sudah tak ada
lagi menemukan itu.
“Aku
wanita yang kuat.” Aku ucapkan afirmasi itu berulang-ulang. Karena memang kau
mengajarkan supaya aku menjadi wanita yang demikian.
-
Siang
dan hari berikutnya aku sudah jarang menemukanmu lagi. Tentu aku mencari
kemana-mana. Tapi tetap saja, kau mengajarkan aku untuk santun agar orang yang
membuatku rindu tetap merasa nyaman ketika rasa khawatirku sudah berlebihan.
Berkali-kali aku menitipkan pesan pada siapapun agar kau tahu aku masih
menunggu di tempat biasa.
-
“Lama
menunggu?”
Aku
mengangguk. Aku menyadari ada cairan hangat membasahi kedua pipiku dan kuharap
kau tak tahu itu.
“Maafkan
aku sudah membuatmu cemas.”
“Kamu
kemana saja?”
“Aku
tetap di sini. Masih di sini dan selalu di sini. Hanya saja ….”
Kau
tahu, aku membenci orang yang memenggal sebagian kalimatnya ketika berbicara
padaku. Cukup memahami jika itu menyimpan sesuatu yang mungkin bisa saja sulit
bahkan sebenarnya tak ingin kupahami.
“Ada
yang kamu sembunyikan, kan?”
Sekarang
gantian kau yang mengangguk lalu menghela nafas.
“Katakan
sebelum semuanya terlambat.”
“Aku
tak bisa menyakitimu terlalu lama.”
“Maksudmu?”
“A-a-aku.
Hmm … aku ….”
“Aku
tidak suka kamu seperti ini.”
“Kebersamaan
ini hanya membuatmu sakit. Aku mungkin bukan lelaki yang pantas mendampingimu.”
“Stop!”
-
Kau
tahu apa yang terjadi? Perlahan kesedihan itu kembali membuka ruang baru. Aku
membayangkan bagaimana melewati hari tanpa dirimu. Hanya satu hal yang
kupahami, kau sudah berkata jujur dan berusaha tak membiarkanku tersesat pada
jalan yang salah. Entah alasanmu benar atau tidak, cukup aku menghargai kau
sebenarnya lelaki baik, aku yang bodoh.
-
Esok
pagi dan seterusnya mungkin kita akan menghitung waktu dengan cara yang
berbeda. Aku pun tak lagi mencium aroma kopi yang kau sesap setiap pagi, kau
juga takkan mengetahui ocehan tiada arti yang sering kubagi.
-
Kita
memang tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya jalan yang harus dilalui hari
esok. Entah bertemu kembali atau tidak. Bersama lagi atau tidak. Yang aku tahu
sekarang kita saling menghargai keputusan masing-masing. Aku kembali belajar
menerima kesepian ini. Untuk kesekian kali.
-
Dan
sampai kapanpun aku takkan mau menghitung waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya
akan mengingat yang pernah kita lewati bersama. Oh ya, bila suatu waktu kau
tersakiti oleh wanita yang tak menghargaimu katakan saja padaku, kau masih
ingatkan kalau aku ini wanita yang super galak?
Untuk
semua kejujuran yang pernah aku ungkapkan simpanlah sebagai tanda kita pernah
saling menyapa. Kalau boleh kembali lebay, aku kembali menemukan sesuatu yang
pernah hilang dari dirimu. Pada malam yang kesekian melepasmu, semoga kau
mendengar ya, “Aku sayang kamu.”
-
ZT,
24/10/2015