Minggu, 25 Oktober 2015

Cerpen: Melepasmu Bersama Waktu



Aku tak pernah dan tak akan mencoba menghitung berapa jumlah hari yang telah kita lewati. Meski terkadang ada hal sakit yang tertinggal ketika menyadari kau adalah orang yang aku butuhkan. Ini kali kedua aku kehilangan orang yang begitu berarti. Andai saja. Oh! Jangan biarkan aku berandai-andai atas kebodohan ini. Bagaimana pun kau telah mengajari bahwa hidup dan masalah adalah dua sisi yang takkan pernah bisa terpisahkan.
-
Jika kau bertanya apa yang paling kubenci saat ini, maka jawaban itu adalah jalan yang pernah kita lalui bersama. Kau tahu, aku pernah tersesat di hati yang salah. Kau datang dan menghiburku, kala itu aku begitu angkuhnya menerima kehadiranmu. Kupikir kau sama saja dengan yang sudah sudah. Lalu waktu yang begitu jauh ternyata membawa langkahku kembali menemukan sedikit jejak bekas kakimu yang tertinggal di ujung gang sana.
-
Ternyata jejak itu membawa kita pada kisah yang baru. Tanpa sadar aku menikmati setiap waktu yang kita habiskan bersama. Menikmati secangkir kopi setiap pagi dan melewatkan hari dengan semua kisah dalam dunia pekerjaan kita. Bahagia? Tentu saja aku bahagia. Kutahu kau begitu sibuk dalam mengemban tugas kantor namun hatimu yang lembut selalu menyisakan ruang buatku. Kau tempa aku menjadi pribadi yang dewasa dalam menghadapi setiap masalah.
-
Kau tahu, setiap kali aku membuka mata dan menghirup udara segar yang ada hanya rasa bahagia. Jangan bilang ini kisah roman picisan atau kisah remaja yang sedang pubertas. Kita sama dewasa hanya yang membedakan adalah kau begitu wibawa di mataku hingga tak sedikitpun kesalahan yang kau perbuat menjadi cela bagiku untuk membenci. Dan perlahan bekas luka yang ditorehkan dia yang pengecut itu sembuh karena kesabaranmu mengajarkan dalam kesantunan.
-
“Apakah kita bisa selamanya seperti ini?” tanyaku pada suatu malam.
Saat itu kau hanya tersenyum dan mengalihkan perbincangan kita pada hal lain. Ada firasat yang mengabarkan pada hatiku bahwa sesuatu telah kau sembunyikan. Entah apa.
“Jangan pernah tanyakan hal itu lagi ya, yang kutahu, aku sayang kamu.”
-
Lalu, kita menjalani hari seperti biasanya. Kau dengan pekerjaanmu begitupun aku. Masih sama seperti biasa, saling mendoakan untuk keberkahan hidup juga kebahagiaan dalam melewati hari yang penuh rintangan.
-
Sampai pada satu titik mungkin sudah saatnya kita harus saling jujur dan menerima semua dengan lapang dada meski hakim sesungguhnya adalah sang Pemilik Kehidupan. Inilah yang aku takutkan sepanjang aku menyayangi seseorang. Dia berkhianat atau jujur telah memilih hati yang lain.
-
Pagi pertama aku tak lagi menemukanmu dalam pesan singkatku. Kupikir kita harus saling mengerti bahwa doa yang selalu dipanjatkan tak harus pula saling memberitahu. Ternyata pagi setelahnya dan berikutnya pun memang sudah tak ada lagi menemukan itu.
“Aku wanita yang kuat.” Aku ucapkan afirmasi itu berulang-ulang. Karena memang kau mengajarkan supaya aku menjadi wanita yang demikian.
-
Siang dan hari berikutnya aku sudah jarang menemukanmu lagi. Tentu aku mencari kemana-mana. Tapi tetap saja, kau mengajarkan aku untuk santun agar orang yang membuatku rindu tetap merasa nyaman ketika rasa khawatirku sudah berlebihan. Berkali-kali aku menitipkan pesan pada siapapun agar kau tahu aku masih menunggu di tempat biasa.
-
“Lama menunggu?”
Aku mengangguk. Aku menyadari ada cairan hangat membasahi kedua pipiku dan kuharap kau tak tahu itu.
“Maafkan aku sudah membuatmu cemas.”
“Kamu kemana saja?”
“Aku tetap di sini. Masih di sini dan selalu di sini. Hanya saja ….”
Kau tahu, aku membenci orang yang memenggal sebagian kalimatnya ketika berbicara padaku. Cukup memahami jika itu menyimpan sesuatu yang mungkin bisa saja sulit bahkan sebenarnya tak ingin kupahami.
“Ada yang kamu sembunyikan, kan?”
Sekarang gantian kau yang mengangguk lalu menghela nafas.
“Katakan sebelum semuanya terlambat.”
“Aku tak bisa menyakitimu terlalu lama.”
“Maksudmu?”
“A-a-aku. Hmm … aku ….”
“Aku tidak suka kamu seperti ini.”
“Kebersamaan ini hanya membuatmu sakit. Aku mungkin bukan lelaki yang pantas mendampingimu.”
“Stop!”
-
Kau tahu apa yang terjadi? Perlahan kesedihan itu kembali membuka ruang baru. Aku membayangkan bagaimana melewati hari tanpa dirimu. Hanya satu hal yang kupahami, kau sudah berkata jujur dan berusaha tak membiarkanku tersesat pada jalan yang salah. Entah alasanmu benar atau tidak, cukup aku menghargai kau sebenarnya lelaki baik, aku yang bodoh.
-
Esok pagi dan seterusnya mungkin kita akan menghitung waktu dengan cara yang berbeda. Aku pun tak lagi mencium aroma kopi yang kau sesap setiap pagi, kau juga takkan mengetahui ocehan tiada arti yang sering kubagi.
-
Kita memang tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya jalan yang harus dilalui hari esok. Entah bertemu kembali atau tidak. Bersama lagi atau tidak. Yang aku tahu sekarang kita saling menghargai keputusan masing-masing. Aku kembali belajar menerima kesepian ini. Untuk kesekian kali.
-
Dan sampai kapanpun aku takkan mau menghitung waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya akan mengingat yang pernah kita lewati bersama. Oh ya, bila suatu waktu kau tersakiti oleh wanita yang tak menghargaimu katakan saja padaku, kau masih ingatkan kalau aku ini wanita yang super galak?
Untuk semua kejujuran yang pernah aku ungkapkan simpanlah sebagai tanda kita pernah saling menyapa. Kalau boleh kembali lebay, aku kembali menemukan sesuatu yang pernah hilang dari dirimu. Pada malam yang kesekian melepasmu, semoga kau mendengar ya, “Aku sayang kamu.”
-
ZT, 24/10/2015

Kamis, 08 Oktober 2015

Cerita Perpisahan



Terhitung Malam Ini

-
Kurang tiga menit jarum menempati angka sebelas, malam ini akhirnya bunyi sirine ambulance benar-benar dekat terdengar di telingaku. Suara yang selama ini begitu menakutkan, akhirnya menjadi nyata. Bagaimana ini bisa terjadi dalam sekejap mata. Allah! Putar waktu ke belakang.
-
Mungkin sejak sore ketika telepon itu kuterima, tubuh ini sudah menjelma menjadi sosok mayat hidup. Ayah, lelaki perkasaku sudah tiada. Penyakit yang sudah menggerogoti tubuh selama kurang lebih empat bulan nyaris menjadi jembatan kembalinya beliau pada sang Khalik. Ah, iya. Mata ini sudah sembab sekali, kakiku masih terasa seperti tak menyentuh tanah. Aku berharap ada orang yang membangunkanku dari mimpi ini. Ayo tampar! Tampar saja aku, supaya yakin apakah ini benar atau tidak.
-
Tetangga semakin ramai berdatangan. Pengajian terhenti sejenak karena jasad ayah akan segera dibawa masuk. Apa ini? Kenapa ada air bah yang mengalir deras dari mataku dan menerjang sekuat-kuatnya. Tolong! Katakan kalau ini pikiran buruk yang pernah singgah ketika pertama kali merawat ayah di rumah sakit.
-
Ayah tepat ada dihadapanku. Kali ini beliau sudah tidur dengan tenang, tak ada lagi yang memanggilku dengan keras ketika ditinggal sendirian. Harusnya aku ada saat terakhir melepasnya kembali pada sang pemilik kehidupan. Aku hanya bisa menunduk, hatiku selalu berucap minta kekuatan pada-Nya.  
-
“Segala yang bernyawa akan kembali pada penciptanya, Dev.”
-
Suara itu siapa pemiliknya. Aku tahu apa yang dia ucapkan, tapi ini sebuah kehilangan. Kalian tahu, sesuatu yang paling menyakitkan dalam hidup adalah kepergian orang yang kita sayangi.
***
“Ayah salat dong, kita semua sudah besar. Malu, Yah!”
“Anak kecil tahu apa! Kalau mau salat ya salat saja jangan coba menasehatiku.”
Aku, anak perempuannya yang nomor tiga dikenal paling keras menentang kelakuan ayah sebagai preman pasar. Kata mereka ayah cukup ditakuti di seputaran pasar Parluasan. Sebut saja nama ayah bila sedang di pasar itu, dijamin tak ada preman yang berani mengganggu.
-
Kehebatan ayah menguasai pasar bukan menjadi kebanggaan buatku juga kami semua anaknya. Kami memang terlahir dari seorang ayah yang menguasai pasar namun didikan emak yang selalu mendekatkan diri pada-Nya menjadi sesuatu yang berbeda. Tak jarang ocehan halus terdengar menyebutkan seorang pemabuk anaknya taat agama. Ayahnya memegang botol minuman sedang anak memeluk al-qur’an.
-
Kami semua sudah beranjak dewasa, bahkan kakak tertuaku sudah menikah sebulan yang lalu. Ayah masih sempat mewakilkan perwalian kepada adik lelaki pada pernikahan tersebut. Ah, lupakan tentang ini.
-
Aku malu dengan kelakuan ayah bukan berarti enggan mengakuinya sebagai orangtua. Sebagai anak, aku juga punya hak untuk meminta ayah sebagai imam dalam salat kami. Ayah adalah pemimpin keluarga bukan pimpinan preman pasar.
-
Terkadang aku bingung, kenapa emak bisa jatuh cinta pada lelaki seperti ayah. Jangankan salat, aktif di rumah saja jarang. Suatu waktu aku pernah bertanya apa yang membuat emak bisa jatuh hati padanya. Jawab yang sangat sederhana.
“Ayahmu tak pernah sekalipun membentak atau memukul emak,” tuturnya.
-
Sesederhana itu kah cinta?
-
Kalau pernah menonton ftv, mungkin kisah ayah bisa dijadikan salah satu ceritanya. Preman pasar kena batunya atau preman pasar sudah pensiun. Bukan juga. Bisa jadi ayah memang benar-benar pensiun sejak kecelakaan itu.
-
Kata mereka lagi kalau ayah sudah kena rahasia Ilahi. Kecelakaan itulah yang menjadikan ayah ada di rumah. Sayangnya bukan sebagai imam namun sebagai pasien. Sembuh dari luka itu muncul penyakit lain. Kakinya yang sudah sembuh dari fraktur menjadi lumpuh. Kami sudah mengobatkan namun kondisinya dari hari ke hari semakin buruk.
-
Aku yang tidak melanjutkan kuliah menjadi suster pribadi di samping adanya dokter praktik yang dibayar selama sakit. Meski dalam keseharian kami kerap terlibat dalam percekcokan, entah kenapa keadaan ini seakan penyatu hubungan antara ayah dan anak yang kurang harmonis. Terakhir, seminggu lalu keadaan kritisnya mengharuskan untuk segera melakukan perawatan di rumah sakit besar.
Malam ini …
***
Oh iya, satu per satu kerabat datang menghampiri. Suasana menjadi gaduh, emak jatuh begitu pula dengan adik yang paling kecil. Lalu aku? Diam di tempatku semula, sesungguhnya nafas ini sudah terasa berat sekali. Bahkan aku lupa bagaimana cara membuka mulut untuk mengeluarkan sepatah kata.
-
Terhitung malam ini hingga pukul sepuluh besok pagi adalah waktu istimewa untuk kami keluarganya yang ditinggalkan. Aku tahu bekal apa yang semestinya dicukupkan untuk ayah. Bukan sebatas airmata sebagai penanda kami kehilangan sosok pelengkap hidupnya emak.
-
Aku harus mengkhatamkan bacaan kitab suci ini untuk hadiah beliau. Kuharap pun begitu dengan saudara yang lain. Allah pasti maha baik semoga ayah diterima meski semasa hidup keningnya belum menyentuh sajadah, itu yang kutahu.
-
Satu hal yang patut aku sesalkan, ayah memang begitu jahat padaku. Andai beliau tahu setiap ucapan orangtua adalah doa mungkin takkan sanggup mengucapkan itu ketika marah.
-
“Aku takkan menjadi wali nikahmu! Ingat baik-baik!”
-
Ayah memang takkan pernah menjadi wali nikahku juga bagi saudara perempuan yang lain. Allah! Sekarang, doa itu pun menjadi kenyataan.
-
ZT, 07/11/2015
*) berdasarkan kisah teman yang baru saja kehilangan ayah  
**) sumber gambar: google

Kamis, 01 Oktober 2015

Jangan Pernah Berubah



Obrolan ringan malam ini dengan seorang lelaki yang berstatus sudah menikah berpuluh tahun. Beliau ini saya kenal di sebuah grup kepenulisan. Awalnya kami hanya saling sapa seputar kejadian dalam kehidupan sehari-hari, termasuk perhatian yang beliau tunjukkan bila saya memposting tulisan galau.
-
Dengan sediki keberanian, saya mencoba bertanya sesuatu yang sebenarnya ini sebagai bahan pelajaran sendiri jika nanti sudah menikah. Proses belajar yang sangat panjang dan perjuangan tiada akhir berada dalam kayuhan biduk bernama rumah tangga. Setiap detik terus menambah ilmu melalui interaksi yang terjadi dengan pasangan.
-
Berikut percakapan sederhana yang tadi kami bincangkan lewat jendela chat.
Saya : S               Beliau: B
-
S       : Om sudah lama menikah, boleh tahu gak secara umum hal apa yang tidak disukai seorang suami terhadap pasangannya?
B       : Tidak pernah berubah.
S       : Maksudnya?
B       : Contohnya kecilnya begini. Apa yang dulu dilakukan saat awal menikah yang jangan pernah diubah kebiasaan itu. Misalnya saat pertama kali mulai hidup bersama membiasakan tidak buang angin sembarangan, ya meski sudah tua begini jangan dilupakan. Bila sejak awal ketika makan mengambilkan nasi suami ya sampai sudah menjadi buyut begini tetap lakukan saja. Termasuk dalam hal penampilan, suami tidak menuntut untuk berpakaian norak seperti artis setidaknya memakai baju yang bersih dan rapi.
S       : Ternyata hal itu tak boleh luput dari ingatan ya, Om. Kalau dengan kebawelan wanita bagaimana? Bawel sepertinya identik dengan wanita yang sudah menikah. *maaf*. Perlu saya tanyakan sebab ingin tahu bagaimana hati suami menanggapi ini.
B       : Kalau sejak menikah sudah bawel ya jangan berubah, kadang bawel itu buat kangen lho.
S       : Hmm …apakah ada hal lain lagi yang boleh saya tahu. Privasi misalnya?
B       : Semua orang punya masa lalu, Rana. Kita yang menikah hidup untuk menjalani masa depan. Sebaiknya sepakat untuk masing-masing melupakan masa itu. Jangan saling ungkit dan mencemburui. Kisah silam itu salah satu pemicu keributan dalam rumah tangga.
Sampai di sini saya berhenti sejenak dengan obrolan itu. Ada beberapa point yang patut menjadi alarm bila nanti sudah menikah. Catatan yang perlu digaris bawahi khususnya buat saya adalah masa lalu. Cemburu yang saya miliki mungkin terlalu besar, hah, ini mah korban perasaaan. *abaikan
-
Mengenai saling melupakan masa lalu sebelumnya sudah saya dengar dari pasangan Adi Nugroho dan Donita yang sepakat dekat ini. Yupz, hal ini perlu direalisasikan bila nanti sudah punya pasangan.
-
Melanjutkan obrolan.
-
S       : Bagaimana jika kecemburuan itu tak dapat dielakkan, Om?
B       : Masing-masing pihak harus cepat menyadari tujuan pernikahan itu apa. Jangan jadikan hal sepele dan cemburu itu menjadi penyebab keributan dalam rumah tangga.
Beliau pun sempat menambahkan nasehat begini: “Bila seseorang mempunyai kecemburuan yang besar, carilah pasangan yang sabar menghadapi kondisi itu. Mumpung Rana masih single masih ada waktu memperbaiki diri juga menyeleksi calon suami nantinya. Intinya saling memahami, mungkin pernikahan itu akan mudah dijalani. Tidak ada yang sempurna karena masalah pasti akan muncul, namun kembali lagi bahwa tujuan menikah karena Allah untuk ibadah maka apapun itu coba kembali dan berserah pada-Nya. In Sya Allah.”
-
Saya sendiri belum menikah. Namun tidak ada salahnya mencari ilmu buat bekal nanti berumahtangga. Semoga tulisan ringan ini mengandung manfaat ya. :)
-
ZT, 01/10/2015 22.24 WIB
*) sumber gambar: google

Cinta di Ujung September




Kau tahu hal apa yang paling dibencinya di dunia ini?
-
Jatuh c i n t a
-
Namanya Sheina. Gadis berusia hampir seperempat abad. Menghabiskan setiap khayalannya dengan imajinasi cinta yang sejati. Berkali-kali mempertaruhkan hatinya demi menggapai mimpi memiliki cinta sejati. Bodoh!
-
Setahun lalu nyaris saja hidupnya akan berakhir hanya karena seorang lelaki penjual rayuan. Bisa bisanya Sheina terjebak pada kebodohan yang sekian kali. Ah, bosan sekali bila aku menuliskan kisah tentangnya yang melulu dengan pengejaran cinta.
-
“Aku jatuh cinta. Aku melihat hatinya ada dimana mana. Di saku bajuku. Dalam laci kerjaku. Lemari pakaianku. Setiap langkahku. Semua ada dia. S e m u a               a d a                 d i a.”
-
“Hei Sheina,” sapa gerimis yang tak sengaja turun sore kemarin.
-
Gerimis serupa teman sekolahnya. Tempat berbagi meski belum mencapai posisi sahabat, gerimis bisa dipercaya menyimpan tiap cerita yang dituturkan gadis itu. Maka wajar saja bila gerimis sesekali mengingatkan Sheina.
-
“Coba baca berita tentang perekonomian negerimu. Nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah melebihi lima belas ribu. Sebagian kota di negerimu belum lagi terguyur hujan. Banyak kesenjangan yang tampak terlihat namun juga tak pantas hanya dibahas dalam sebaris kata-kata. Jadilah yang terhebat bagi hidupmu sendiri. Berjuanglah. Ingat kata temanmu. Kau harus menjadi wanita hebat untuk bersanding dengan sosok berkualitas.”
-
Sheina tertegun. Harusnya gerimis tak perlu menamparnya dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Memang ada banyak hal yang perlu dibenahi. Bukan Sheina bila tak menitipkan pesan pada yang dicintainya.
-
Datanglah sebelum enam purnama yang kujanjikan. Aku masih menunggumu sama seperti ketika mengakui bahwa diri ini telah merindukanmu sejak perpisahan kedua.

ZT, 01/10/2015
*) sumber gambar: google