Kamis, 08 Oktober 2015

Cerita Perpisahan



Terhitung Malam Ini

-
Kurang tiga menit jarum menempati angka sebelas, malam ini akhirnya bunyi sirine ambulance benar-benar dekat terdengar di telingaku. Suara yang selama ini begitu menakutkan, akhirnya menjadi nyata. Bagaimana ini bisa terjadi dalam sekejap mata. Allah! Putar waktu ke belakang.
-
Mungkin sejak sore ketika telepon itu kuterima, tubuh ini sudah menjelma menjadi sosok mayat hidup. Ayah, lelaki perkasaku sudah tiada. Penyakit yang sudah menggerogoti tubuh selama kurang lebih empat bulan nyaris menjadi jembatan kembalinya beliau pada sang Khalik. Ah, iya. Mata ini sudah sembab sekali, kakiku masih terasa seperti tak menyentuh tanah. Aku berharap ada orang yang membangunkanku dari mimpi ini. Ayo tampar! Tampar saja aku, supaya yakin apakah ini benar atau tidak.
-
Tetangga semakin ramai berdatangan. Pengajian terhenti sejenak karena jasad ayah akan segera dibawa masuk. Apa ini? Kenapa ada air bah yang mengalir deras dari mataku dan menerjang sekuat-kuatnya. Tolong! Katakan kalau ini pikiran buruk yang pernah singgah ketika pertama kali merawat ayah di rumah sakit.
-
Ayah tepat ada dihadapanku. Kali ini beliau sudah tidur dengan tenang, tak ada lagi yang memanggilku dengan keras ketika ditinggal sendirian. Harusnya aku ada saat terakhir melepasnya kembali pada sang pemilik kehidupan. Aku hanya bisa menunduk, hatiku selalu berucap minta kekuatan pada-Nya.  
-
“Segala yang bernyawa akan kembali pada penciptanya, Dev.”
-
Suara itu siapa pemiliknya. Aku tahu apa yang dia ucapkan, tapi ini sebuah kehilangan. Kalian tahu, sesuatu yang paling menyakitkan dalam hidup adalah kepergian orang yang kita sayangi.
***
“Ayah salat dong, kita semua sudah besar. Malu, Yah!”
“Anak kecil tahu apa! Kalau mau salat ya salat saja jangan coba menasehatiku.”
Aku, anak perempuannya yang nomor tiga dikenal paling keras menentang kelakuan ayah sebagai preman pasar. Kata mereka ayah cukup ditakuti di seputaran pasar Parluasan. Sebut saja nama ayah bila sedang di pasar itu, dijamin tak ada preman yang berani mengganggu.
-
Kehebatan ayah menguasai pasar bukan menjadi kebanggaan buatku juga kami semua anaknya. Kami memang terlahir dari seorang ayah yang menguasai pasar namun didikan emak yang selalu mendekatkan diri pada-Nya menjadi sesuatu yang berbeda. Tak jarang ocehan halus terdengar menyebutkan seorang pemabuk anaknya taat agama. Ayahnya memegang botol minuman sedang anak memeluk al-qur’an.
-
Kami semua sudah beranjak dewasa, bahkan kakak tertuaku sudah menikah sebulan yang lalu. Ayah masih sempat mewakilkan perwalian kepada adik lelaki pada pernikahan tersebut. Ah, lupakan tentang ini.
-
Aku malu dengan kelakuan ayah bukan berarti enggan mengakuinya sebagai orangtua. Sebagai anak, aku juga punya hak untuk meminta ayah sebagai imam dalam salat kami. Ayah adalah pemimpin keluarga bukan pimpinan preman pasar.
-
Terkadang aku bingung, kenapa emak bisa jatuh cinta pada lelaki seperti ayah. Jangankan salat, aktif di rumah saja jarang. Suatu waktu aku pernah bertanya apa yang membuat emak bisa jatuh hati padanya. Jawab yang sangat sederhana.
“Ayahmu tak pernah sekalipun membentak atau memukul emak,” tuturnya.
-
Sesederhana itu kah cinta?
-
Kalau pernah menonton ftv, mungkin kisah ayah bisa dijadikan salah satu ceritanya. Preman pasar kena batunya atau preman pasar sudah pensiun. Bukan juga. Bisa jadi ayah memang benar-benar pensiun sejak kecelakaan itu.
-
Kata mereka lagi kalau ayah sudah kena rahasia Ilahi. Kecelakaan itulah yang menjadikan ayah ada di rumah. Sayangnya bukan sebagai imam namun sebagai pasien. Sembuh dari luka itu muncul penyakit lain. Kakinya yang sudah sembuh dari fraktur menjadi lumpuh. Kami sudah mengobatkan namun kondisinya dari hari ke hari semakin buruk.
-
Aku yang tidak melanjutkan kuliah menjadi suster pribadi di samping adanya dokter praktik yang dibayar selama sakit. Meski dalam keseharian kami kerap terlibat dalam percekcokan, entah kenapa keadaan ini seakan penyatu hubungan antara ayah dan anak yang kurang harmonis. Terakhir, seminggu lalu keadaan kritisnya mengharuskan untuk segera melakukan perawatan di rumah sakit besar.
Malam ini …
***
Oh iya, satu per satu kerabat datang menghampiri. Suasana menjadi gaduh, emak jatuh begitu pula dengan adik yang paling kecil. Lalu aku? Diam di tempatku semula, sesungguhnya nafas ini sudah terasa berat sekali. Bahkan aku lupa bagaimana cara membuka mulut untuk mengeluarkan sepatah kata.
-
Terhitung malam ini hingga pukul sepuluh besok pagi adalah waktu istimewa untuk kami keluarganya yang ditinggalkan. Aku tahu bekal apa yang semestinya dicukupkan untuk ayah. Bukan sebatas airmata sebagai penanda kami kehilangan sosok pelengkap hidupnya emak.
-
Aku harus mengkhatamkan bacaan kitab suci ini untuk hadiah beliau. Kuharap pun begitu dengan saudara yang lain. Allah pasti maha baik semoga ayah diterima meski semasa hidup keningnya belum menyentuh sajadah, itu yang kutahu.
-
Satu hal yang patut aku sesalkan, ayah memang begitu jahat padaku. Andai beliau tahu setiap ucapan orangtua adalah doa mungkin takkan sanggup mengucapkan itu ketika marah.
-
“Aku takkan menjadi wali nikahmu! Ingat baik-baik!”
-
Ayah memang takkan pernah menjadi wali nikahku juga bagi saudara perempuan yang lain. Allah! Sekarang, doa itu pun menjadi kenyataan.
-
ZT, 07/11/2015
*) berdasarkan kisah teman yang baru saja kehilangan ayah  
**) sumber gambar: google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih sudah berkunjung. Sila tinggalkan komentar yaaa :)