Terhitung Malam Ini
-
Kurang tiga menit jarum
menempati angka sebelas, malam ini akhirnya bunyi sirine ambulance benar-benar
dekat terdengar di telingaku. Suara yang selama ini begitu menakutkan, akhirnya
menjadi nyata. Bagaimana ini bisa terjadi dalam sekejap mata. Allah! Putar waktu
ke belakang.
-
Mungkin sejak sore
ketika telepon itu kuterima, tubuh ini sudah menjelma menjadi sosok mayat
hidup. Ayah, lelaki perkasaku sudah tiada. Penyakit yang sudah menggerogoti
tubuh selama kurang lebih empat bulan nyaris menjadi jembatan kembalinya beliau
pada sang Khalik. Ah, iya. Mata ini sudah sembab sekali, kakiku masih terasa
seperti tak menyentuh tanah. Aku berharap ada orang yang membangunkanku dari
mimpi ini. Ayo tampar! Tampar saja aku, supaya yakin apakah ini benar atau
tidak.
-
Tetangga semakin ramai
berdatangan. Pengajian terhenti sejenak karena jasad ayah akan segera dibawa masuk.
Apa ini? Kenapa ada air bah yang mengalir deras dari mataku dan menerjang
sekuat-kuatnya. Tolong! Katakan kalau ini pikiran buruk yang pernah singgah
ketika pertama kali merawat ayah di rumah sakit.
-
Ayah tepat ada
dihadapanku. Kali ini beliau sudah tidur dengan tenang, tak ada lagi yang memanggilku
dengan keras ketika ditinggal sendirian. Harusnya aku ada saat terakhir
melepasnya kembali pada sang pemilik kehidupan. Aku hanya bisa menunduk, hatiku
selalu berucap minta kekuatan pada-Nya.
-
“Segala yang bernyawa
akan kembali pada penciptanya, Dev.”
-
Suara itu siapa pemiliknya.
Aku tahu apa yang dia ucapkan, tapi ini sebuah kehilangan. Kalian tahu, sesuatu
yang paling menyakitkan dalam hidup adalah kepergian orang yang kita sayangi.
***
“Ayah salat dong, kita
semua sudah besar. Malu, Yah!”
“Anak kecil tahu apa! Kalau
mau salat ya salat saja jangan coba menasehatiku.”
Aku, anak perempuannya
yang nomor tiga dikenal paling keras menentang kelakuan ayah sebagai preman
pasar. Kata mereka ayah cukup ditakuti di seputaran pasar Parluasan. Sebut saja
nama ayah bila sedang di pasar itu, dijamin tak ada preman yang berani
mengganggu.
-
Kehebatan ayah
menguasai pasar bukan menjadi kebanggaan buatku juga kami semua anaknya. Kami memang
terlahir dari seorang ayah yang menguasai pasar namun didikan emak yang selalu
mendekatkan diri pada-Nya menjadi sesuatu yang berbeda. Tak jarang ocehan halus
terdengar menyebutkan seorang pemabuk anaknya taat agama. Ayahnya memegang
botol minuman sedang anak memeluk al-qur’an.
-
Kami semua sudah
beranjak dewasa, bahkan kakak tertuaku sudah menikah sebulan yang lalu. Ayah masih
sempat mewakilkan perwalian kepada adik lelaki pada pernikahan tersebut. Ah,
lupakan tentang ini.
-
Aku malu dengan
kelakuan ayah bukan berarti enggan mengakuinya sebagai orangtua. Sebagai anak,
aku juga punya hak untuk meminta ayah sebagai imam dalam salat kami. Ayah adalah
pemimpin keluarga bukan pimpinan preman pasar.
-
Terkadang aku bingung,
kenapa emak bisa jatuh cinta pada lelaki seperti ayah. Jangankan salat, aktif
di rumah saja jarang. Suatu waktu aku pernah bertanya apa yang membuat emak
bisa jatuh hati padanya. Jawab yang sangat sederhana.
“Ayahmu tak pernah
sekalipun membentak atau memukul emak,” tuturnya.
-
Sesederhana itu kah
cinta?
-
Kalau pernah menonton
ftv, mungkin kisah ayah bisa dijadikan salah satu ceritanya. Preman pasar kena
batunya atau preman pasar sudah pensiun. Bukan juga. Bisa jadi ayah memang
benar-benar pensiun sejak kecelakaan itu.
-
Kata mereka lagi kalau
ayah sudah kena rahasia Ilahi. Kecelakaan itulah yang menjadikan ayah ada di
rumah. Sayangnya bukan sebagai imam namun sebagai pasien. Sembuh dari luka itu
muncul penyakit lain. Kakinya yang sudah sembuh dari fraktur menjadi lumpuh. Kami
sudah mengobatkan namun kondisinya dari hari ke hari semakin buruk.
-
Aku yang tidak melanjutkan
kuliah menjadi suster pribadi di samping adanya dokter praktik yang dibayar
selama sakit. Meski dalam keseharian kami kerap terlibat dalam percekcokan,
entah kenapa keadaan ini seakan penyatu hubungan antara ayah dan anak yang
kurang harmonis. Terakhir, seminggu lalu keadaan kritisnya mengharuskan untuk
segera melakukan perawatan di rumah sakit besar.
Malam ini …
***
Oh iya, satu per satu
kerabat datang menghampiri. Suasana menjadi gaduh, emak jatuh begitu pula
dengan adik yang paling kecil. Lalu aku? Diam di tempatku semula, sesungguhnya
nafas ini sudah terasa berat sekali. Bahkan aku lupa bagaimana cara membuka
mulut untuk mengeluarkan sepatah kata.
-
Terhitung malam ini hingga
pukul sepuluh besok pagi adalah waktu istimewa untuk kami keluarganya yang
ditinggalkan. Aku tahu bekal apa yang semestinya dicukupkan untuk ayah. Bukan sebatas
airmata sebagai penanda kami kehilangan sosok pelengkap hidupnya emak.
-
Aku harus mengkhatamkan
bacaan kitab suci ini untuk hadiah beliau. Kuharap pun begitu dengan saudara
yang lain. Allah pasti maha baik semoga ayah diterima meski semasa hidup
keningnya belum menyentuh sajadah, itu yang kutahu.
-
Satu hal yang patut aku
sesalkan, ayah memang begitu jahat padaku. Andai beliau tahu setiap ucapan
orangtua adalah doa mungkin takkan sanggup mengucapkan itu ketika marah.
-
“Aku takkan menjadi
wali nikahmu! Ingat baik-baik!”
-
Ayah memang takkan
pernah menjadi wali nikahku juga bagi saudara perempuan yang lain. Allah! Sekarang,
doa itu pun menjadi kenyataan.
-
ZT, 07/11/2015
*) berdasarkan kisah
teman yang baru saja kehilangan ayah
**) sumber gambar: google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung. Sila tinggalkan komentar yaaa :)