Rabu, 30 September 2015

Bronisku



Bronisku
-
Aku tak pernah tahu kalau kita yang sama-sama keras kepala bisa hidup dalam satu ikatan yang disebut pernikahan. Setiap kali aku ingat kebodohan ini tentu kata cerai yang akan aku ajukan. Aku benci mendengar dengkuranmu. Aku muak dengan suara kecilmu ketika bernyanyi. Seperti sekarang, subuh masih jauh tapi mataku terpaksa harus dalam keadaan segar karena suara ngorokmu yang tak lucu itu.
-
“Hei, kenapa bangun?”
-
Betapa bodohnya pria yang tidur di sebelahku ini. Bukannya merasa bersalah karena suara dengkurannya yang nyaris menyerupai konser music malah bertanya kenapa aku terjaga.
-
“Aku baru saja dari kamar mandi.” Aku memaksakan wajah untuk tersenyum.
-
Mungkin ini pernikahan yang aneh. Kita saling sepakat untuk tak berkata yang menyakiti pasangan ketika di dalam kamar. Kalau saja ini di ruang makan atau sedang menonton tv pasti aku sudah mengomel panjang lebar karena tingkah konyolmu.
-
Pernikahan ini baru akan mencapai sepuluh purnama bulan depan, tapi tetap aku sudah mengalami kebosanan. Inikah kerikil kecil yang mesti aku lalui? Bukankah setahun pertama itu mestinya sangat indah. Lalu mengapa karena hal sepelenya aku sudah bosan.
-
“Ingat, Nduk. Bila dijalan kau menemui batu besar,pasti dengan mudah untuk dihindari agar tidak terjatuh. Berhati-hatilah dengan batu kecil. Kadang kala kita sepele dengan hal kecil begitu, tapi bila kita tidak peka kerikil pun bisa menyebabkan kita jatuh dan terluka. Begitulah dalam pernikahan.”
-
Kenapa nasehat si Mbok tengah bernyanyi di telingaku. Teh melati yang kami hadapi bersama di minggu cerah ini belum juga tersesap. Sementara suamiku seperti orang bodoh menantiku buka suara sejak subuh tadi. Kurang tidurku semalam memicu rasa sensitif. Ini bermula dengan deadline akhir tahun dari kantor yang memaksaku untuk lebih focus pada pekerjaan timbang perasaan.
-
“Tuan puteri, kenapa diam saja sih. Kangen tauk.”
-
Wajahku semakin manyun disertai pandangan yang kurang bersahabat. Ah, dia ini selalu bikin kesal. Kenapa mesti memaksa aku membuka suara saat begini. Dasar brondong!
-
“Iya. Iya.”
-
Kalau saja Mbok tidak memaksa untuk segera mengakhiri masa lajang ini, mungkin pernikahan dengan Putra takkan terjadi. Sejak dulu aku tak ingin menikah dengan lelaki yang usianya lebih muda. Tapi …
Aku mengambil jalan pintas segera menikah agar Mbok tak lagi bicara hal mitos kalau anak perawan lewat usia tiga puluh tahun tidak akan menikah selamanya. Wiwww mengerikan pernyataan pernyataan konyol ini.
-
Hanya Putra yang bersedia kuajak menikah beberapa bulan lalu. Semua lelaki yang dekat denganku menolak dengan alasan kurang meyakinkan. Kalau saja aku menikah dengan Anwar, lelaki dewasa yang tak hanya umur namun matang dalam pemikiran. Kenapa dia menolak dengan alasan belum siap untuk membangun keluarga? Atau ini semata buka karena lelah tapi merindukan Anwar.
-
“Ran, bicaralah. Aku salah apa?”
-
Sudah berapa lama aku mendiamkan dia? Aku masih saja asik dengan pikiranku yang memutar memori masa lalu dengan Anwar. Lelaki ini? Kenapa masih saja ada di depanku, bukankah lebih baik dia pergi mengurus tanaman jahe-nya di pekarangan belakang.
-
“Dokkon ma. Aha do salahku?”
-
“ Ha ha ha”
-
Nyaris memecahkan khayalanku yang indah tentang Anwar. Bagaimana mungkin aku tidak tertawa, Putra dengan logat jawanya yang medhok menggunakan bahasa dari tanah kelahiranku; Batak.
-
Harusnya aku lebih yakin, kebahagiaan itu sederhana. Cinta bisa tumbuh dengan saling membuka diri. Bertahanlah dengan ketulusanmu, kuyakin hati ini bisa kau kuasai sepenuhnya.

ZT, 30/09/2015
*) sumber gambar: google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih sudah berkunjung. Sila tinggalkan komentar yaaa :)