Bronisku
-
Aku tak pernah tahu
kalau kita yang sama-sama keras kepala bisa hidup dalam satu ikatan yang
disebut pernikahan. Setiap kali aku ingat kebodohan ini tentu kata cerai yang
akan aku ajukan. Aku benci mendengar dengkuranmu. Aku muak dengan suara kecilmu
ketika bernyanyi. Seperti sekarang, subuh masih jauh tapi mataku terpaksa harus
dalam keadaan segar karena suara ngorokmu
yang tak lucu itu.
-
“Hei, kenapa bangun?”
-
Betapa bodohnya pria
yang tidur di sebelahku ini. Bukannya merasa bersalah karena suara dengkurannya
yang nyaris menyerupai konser music malah bertanya kenapa aku terjaga.
-
“Aku baru saja dari
kamar mandi.” Aku memaksakan wajah untuk tersenyum.
-
Mungkin ini pernikahan
yang aneh. Kita saling sepakat untuk tak berkata yang menyakiti pasangan ketika
di dalam kamar. Kalau saja ini di ruang makan atau sedang menonton tv pasti aku
sudah mengomel panjang lebar karena tingkah konyolmu.
-
Pernikahan ini baru
akan mencapai sepuluh purnama bulan depan, tapi tetap aku sudah mengalami
kebosanan. Inikah kerikil kecil yang mesti aku lalui? Bukankah setahun pertama
itu mestinya sangat indah. Lalu mengapa karena hal sepelenya aku sudah bosan.
-
“Ingat, Nduk. Bila dijalan
kau menemui batu besar,pasti dengan mudah untuk dihindari agar tidak terjatuh. Berhati-hatilah
dengan batu kecil. Kadang kala kita sepele dengan hal kecil begitu, tapi bila
kita tidak peka kerikil pun bisa menyebabkan kita jatuh dan terluka. Begitulah dalam
pernikahan.”
-
Kenapa nasehat si Mbok
tengah bernyanyi di telingaku. Teh melati yang kami hadapi bersama di minggu
cerah ini belum juga tersesap. Sementara suamiku seperti orang bodoh menantiku
buka suara sejak subuh tadi. Kurang tidurku semalam memicu rasa sensitif. Ini bermula
dengan deadline akhir tahun dari kantor yang memaksaku untuk lebih focus pada
pekerjaan timbang perasaan.
-
“Tuan puteri, kenapa
diam saja sih. Kangen tauk.”
-
Wajahku semakin manyun
disertai pandangan yang kurang bersahabat. Ah, dia ini selalu bikin kesal. Kenapa
mesti memaksa aku membuka suara saat begini. Dasar brondong!
-
“Iya. Iya.”
-
Kalau saja Mbok tidak
memaksa untuk segera mengakhiri masa lajang ini, mungkin pernikahan dengan
Putra takkan terjadi. Sejak dulu aku tak ingin menikah dengan lelaki yang
usianya lebih muda. Tapi …
Aku mengambil jalan
pintas segera menikah agar Mbok tak lagi bicara hal mitos kalau anak perawan
lewat usia tiga puluh tahun tidak akan menikah selamanya. Wiwww mengerikan
pernyataan pernyataan konyol ini.
-
Hanya Putra yang
bersedia kuajak menikah beberapa bulan lalu. Semua lelaki yang dekat denganku
menolak dengan alasan kurang meyakinkan. Kalau saja aku menikah dengan Anwar,
lelaki dewasa yang tak hanya umur namun matang dalam pemikiran. Kenapa dia
menolak dengan alasan belum siap untuk membangun keluarga? Atau ini semata buka
karena lelah tapi merindukan Anwar.
-
“Ran, bicaralah. Aku salah
apa?”
-
Sudah berapa lama aku
mendiamkan dia? Aku masih saja asik dengan pikiranku yang memutar memori masa
lalu dengan Anwar. Lelaki ini? Kenapa masih saja ada di depanku, bukankah lebih
baik dia pergi mengurus tanaman jahe-nya di pekarangan belakang.
-
“Dokkon ma. Aha do
salahku?”
-
“ Ha ha ha”
-
Nyaris memecahkan
khayalanku yang indah tentang Anwar. Bagaimana mungkin aku tidak tertawa, Putra
dengan logat jawanya yang medhok menggunakan
bahasa dari tanah kelahiranku; Batak.
-
Harusnya aku lebih yakin,
kebahagiaan itu sederhana. Cinta bisa tumbuh dengan saling membuka diri. Bertahanlah
dengan ketulusanmu, kuyakin hati ini bisa kau kuasai sepenuhnya.
ZT, 30/09/2015
*) sumber gambar: google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih sudah berkunjung. Sila tinggalkan komentar yaaa :)